Iklan Header

Anakku Tak Semahal Smartphone? (Cerita Ispiratif: Fiksi)

Empat tahun yang lalu, aku menyaksikan kejadian miris di depan mataku. Anakku Rosa, mendapat tamparan di pipi kiri dari lelaki yang ia panggil ayah. Lelaki yang berstatus ayah kandung, bukan ayah tiri.

Permasalahannya sepele, hanya karena smartphone.

"Sa ... bawa sini Hape ayah!"

Rosa yang tengah asik bermain di ruang tamu, masih diam mendengar panggillan ayahnya yang tengah duduk menunggu di halaman, di atas jok motor. Sementara aku, masih sibuk di dapur menggoreng kerupuk yang harus selalu dibolak-balik. Kemudian, ayahnya mengulangi lagi panggilannya.

"Sa ... buruan ambil hape Ayah!" Ayahnya mulai bersuara tinggi.

Rosa pun berdiri, melangkah mengambil smartphone ayahnya yang tergeletak di meja ruang tamu. Kakinya bergegas melangkah menuju sang ayah. Tapi naas, smartphone itu terjatuh dari tangannya.

Ayahnya murka. Dia menghardik Rosa dengan kata yang tidak pantas di dengar oleh anak yang masih TK.

Tepat saat Rosa mengulurkan smartphone itu ke ayahnya, satu tamparan mendarat di pipi gadis yang berumur lima tahun itu.

"Plak ...!" Pipi Rosa berbekas merah oleh telapak tangan lebar milik ayahnya.

Aku berlari ke depan. Emosiku pun tersulut. Tapi, karena takut malu dilihat tetangga, kuredam amarahku. Kubawa gadis kecilku masuk ke rumah. Kuusap lembut pipinya yang memerah. Terasa hangat bekas tamparan itu. Air mata gadis kecilku meleleh. Tapi, tidak ada suara rengekan tangis. Hanya bulir bening itu saja, yang luruh membasahi pipinya.


Hatiku pun terasa sakit. Aku, yang bertaruh nyawa melahirkannya, belum pernah melakukan hal demukian. Sekesal apapun aku oleh tingkah manja dan nakalnya.

Malam ini, kejadian empat tahun yang lalu, kembali terulang. Saat aku tengah duduk menonton televisi, aku meminta Rosa, yang juga tengah menonton televisi, untuk mengulurkan smartphone ayahnya ke tanganku.

"Sa, bawa sini hape ayah, Nak. Mama mau minjam."

Aku memang selalu meminjam smartphone suamiku, ketika dia pulang dari kerja. Bukan curiga atau mau mengecek chattingnya, tetapi aku meminjam hanya untuk berselancar di dunia maya. Untuk sesekali membuka akun facebookku.

Pernah terpikir untuk membeli smartphone sendiri, dengan uang tabungan yang kumiliki. Tetapi, aku merasa itu tidak terlalu penting. Aku tidak begitu eksis di dunia maya. Lagi pula, sayang rasanya mengurangi tabungan hanya untuk membeli smartphone, takutnya nanti ada keperluan tak terduga, datang secara mendadak.

Rosa mengambil smartphone ayahnya yang tengah diisi daya. Dia mencabut kabel carge, dan mengulurkan kepadaku. Namun, kejadian naas itu terulang kembali.

smartphone yang baru sebulan lalu dibeli oleh ayahnya, dengan harga yang lumayan mahal, jatuh dari tangan Rosa. Dan ...

"Plak ...!" Kembali tamparan itu mendarat di pipi Rosa, yang kini sudah berumur sembilan tahun.

"Abang! Apa-apaan, sih. Sakit itu, Bang. Maen tangan aja!" bentakku.

"Habis kebiasaan. Dari dulu seperti itu. Kalau rusak gimana?!" Suaranya tidak kalah tinggi dari suaraku.

Kulihat Rosa mulai menangis. Tapi sama seperti dulu. Anak itu selalu menangis tanpa suara. Hanya air matanya saja yang berlinang.

Emosiku makin menbuncah. Tak dapat lagi rasanya kupendam.

"Kalau hape mu itu, lebih berharga dari anakmu. Kau bunuh saja anakmu sekalian, Bang...! Biar puas hatimu, Bang! Tanggung, kalau hanya tamparan yang kau berikan padanya," hardikku.

Aku yang tidak suka mendengar kata 'KAU' , sekarang kata-kata itu keluar lancar dari mulutku.

"Sembilan bulan aku mengandungnya, nyawaku taruhan melahirkannya. Tak pernah sekalipun telapak tangan ini membekas di pipinya, tau kau Bang. Jangan seenak kau, maen tangan dengan anak perempuanmu. Yang kau perbuat hari ini, akan dia ingat seumur hidupnya." Aku kembali mencecar.

Rosa tergugu memegang pipinya. Lalu suamiku menjawab ...

"Alah ... dulu waktu kecil, aku dipukul pakai batang ubi lagi. Bahkan aku pernah setengah hari, diikat bapakku di tiang rumah. Ini cuma ditampar ajanya. Bukannya kuat aku menampar," balas suamiku.

"Owh ... jadi pengalaman didikan buruk yang kau dapat di masa kecilmu dulu, itu yang mau kau wariskan ke anakmu. Biar besok, diwariskan anakmu pulak ke cucumu. Hebat kali cara berpikirmu rupanya, ya, Bang?!"

Suamiku terdiam. Seperti ada penyesalan di matanya.

"Hape mu kalau rusak, bisa diservice Bang. Tapi kalau hati anakmu kau rusak, itu akan dia rekam dalam ingatannya sepanjang hidup. Setelah kau tua renta tak berdaya nanti, siap-siaplah kau, Bang. Mendapat balasan darinya, dari perbuatanmu," tandasku.

Kubawa Rosa ke kamar. Kulemparkan smartphone suamiku ke atas pahanya. Hilang seleraku untuk berselancar di dunia maya.

Kuusap lembut kepala Rosa, hingga ia tertidur membawa isak tangisnya.

Sekian.

Sumber: FB, Nasni Noor.

Posting Komentar untuk "Anakku Tak Semahal Smartphone? (Cerita Ispiratif: Fiksi)"